Selasa, 27 Juli 2010

YANG WARGA CINA MEMELIHARA AYAM BERUMUR 22 TAHUN

Seorang lelaki warga China sedang mengajukan pemecahan rekor ayam tertua di dunia kepada Guinnes World Record. Yang Shaofu (77) dari desa Sidazhuang, Baoshan, Provinsi Yunan mengaku membeli ayam itu pada 1988, atau sekitar 22 tahun lalu.

Seperti dilansir web.orange.co.uk, Selasa 27 Juli 2010, Yang Shaofu membeli ayam itu bersama empat ekor ayam lain sekitar 22 tahun lalu. Saat membeli ayam itu, dia mengaku diantar oleh menantunya.

"Saat itu beratnya hanya sekitar setengah kilogram. Setelah mengalami pertumbuhan dua bulan kemudian, ayam itu mulai bertelur," kata Yang.

Yang menambahkan, ayam peliharaannya itu kini masih cukup sehat, dan kuat untuk beraktivitas. Yang berkurang, hanya nafsu makannya. Ayam Yang itu makannya tidak sehebat saat muda dulu.

Makanan sehari-hari induk ayam itu adalah jagung, dan kerang-kerangan. Dokter hewan setempat mengatakan biasanya seekor induk ayam dapat hidup paling lama 7 hingga 8 tahun. Kini usia ayam berbulu cokelat itu mencapai 22 tahun. Usia itu disebutkan setara umur manusia yang mencapai 400 tahun.

Catatan sejarah hidup terpanjang induk ayam mencapai usia 12 tahun, lebih dari setengah usia ayam Yang. Selama hidupnya, kata Yang, ayam itu sudah menghasilkan 5.000 butir telur.

"Banyak orang menyarankan saya membunuh ayam ini untuk dimakan, tapi saya tak akan melakukannya. Saya tetap menunggu sampai dia mati," ujar Yang.

Sabtu, 24 Juli 2010

Gletser Cartensz Papua Mulai Hilang

Timika: Pemanasan global memperlihatkan dampaknya. Dalam waktu 20 hingga 30 tahun ke depan, gletser di Gunung Cartensz, dekat Puncak Jaya, Papua, diperkirakan akan hilang akibat pemanasan global. Perkiraan ini disampaikan peneliti inti es Papua, Prof Lonnie G. Thompson

Menurut Thompson yang juga guru besar di Ohio State University, selama 13 hari berada di Papua, gletser di Cartensz mengalami penurunan 30 sentimeter. Dia memperkirakan setiap tahun gletser Papua hilang beberapa meter.

Thompson menambahkan, proses pencairan es pada gletser Papua sangat cepat akibat faktor iklim. Soalnya, setiap hari selalu turun hujan di kawasan tersebut. "Benar kalau gletser di sini kemungkinan akan cepat habis karena setiap hari turun hujan. Hujan merupakan faktor cuaca yang paling cepat menghabiskan gletser," kata Thompson, seperti ditulis Antara.

Selama berada di kawasan gletser Papua, Thompson dan rekan-rekannya mengambil sampel 88 meter Ice Core dengan mengebor enam inti es sampai dasar es. Mereka lalu memotong-motong es menjadi satu meter dan dimasukan ke dalam freezer untuk diteliti lebih lanjut di Ohio State University.

Hasil penelitian mereka diperkirakan akan selesai akhir 2010 dan dipublikasikan sekitar Juni 2011. "Misi pengambilan sampel es ini untuk mendapatkan informasi iklim yang masih ada di gletser Papua, sebelum informasi iklim itu akan hilang semua," jelas Thompson.

Suhu rata-rata di kawasan gletser Papua, kata Thompson, pada siang maupun malam hari berkisar pada lima derajat Celcius hingga minus lima derajat Celcius di bawah 0. Dia juga menyebut gletser yang ada di pegunungan Papua merupakan yang paling rendah di dunia.

Proyek penelitian pengeboran inti es Papua 2010 yang dilakukan Thompson terjadi atas kerja sama Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dengan Byrd Polar Research Center (BPRC) The Ohio State University. Tim ini beranggotakan sejumlah peneliti dari Amerika Serikat, Rusia, Prancis, dan Indonesia. Selama di Papua, mereka meneliti tiga titik gletser, yakni Cartensz, E.Nortwall Firs, dan W.Northwall Firs yang juga hampir habis atau hilang.(ULF).